07 Juli 2012

Jurnal dari Selat Sunda

Gunung Anak Krakatau dan beberapa pulau disekitarnya menjadi tempat pelarian saya pada tanggal 29 Juni 2012 kemarin. Tempat di Selat Sunda ini baru pertama kali saya kunjungi sebagai reward bagi diri saya sendiri setelah lembur panjang selama 3 bulan. Sendirian saya menjadi teman-teman seperjalanan dalam open trip ini di Terminal Leuwi Panjang Bandung. Dari depan, saya mulai celingak-celinguk mencari gelagat orang-orang yang tampak akan berlibur, karena saya belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Sampai akhirnya menemukan 2 orang dengan tujuan yang sama dan beberapa orang lainnya pun akhirnya berdatangan. 
 

2 orang tamu istimewa dalam perjalanan ini. Faisal dari UEA dan Ziad dari Mesir (dok. Elingselasri)

Perjalanan dimulai menggunakan Bus Laju Prima menuju Pelabuhan Merak, yang juga menjadi meeting point dengan rombongan dari Jakarta. Kurang lebih 5 jam kami menghabiskan waktu dijalan dan sempat terjebak macet di Jakarta Barat.
Pelabuhan Merak adalah tempat yang tidak pernah tidur, tengah malam seakan menjadi puncak lalu lintas penyeberangan Pulau Jawa-Sumatra atau sebaliknya. 
Saya dan teman-teman bergegas naik ke KMP Tri Buana yang ternyata telah di sesaki penumpang pada spot-spot tertentu. Buritan pun akhirnya menjadi tujuan kami untuk beristirahat. Namun karena saya mudah masuk angin, saya tidak ingin ambil resiko diawal perjalanan sehingga saya dan beberapa orang memutuskan turun ke bawah dan memilih ruang lesehan untuk beristirahat. Lumayan, walaupun tidak ber AC. 

 
 Bukan sedang botram (dok. Wildansyah) 

Bakauheni yang juga tidak tidur menyambut kami sebelum menuju Kalianda, kota di Lampung Selatan yang akan menjadi titik penyemberangan ke Pulau Sebesi, tempat kami akan menginap. 
Perjalanan ke P. Sebesi berlangsung 1-1.5 jam, mampir di P. Sebuku Besar yang cantik namun tertutup sampah yang sepertinya terbawa ombak pasang dari Pulau-pulau sekitarnya.

Spot Snorkeling yang lokasinya tidak seberapa jauh menjad tujuan kami berikutnya. Pada awalnya saya merasa baik-baik saja diam di atas kapal, sampai akhirnya goncangan keras ombak membuat saya mual. 
"biar ga mual, turun saja mbak" ujar ABK kapal yang sepertinya bisa melihat kondisi saya. Tanpa banyak pikir, saya pun nyemplung ke air. Sayang, karena "kaget" acara snorkeling saya pun kurang berjalan lancar. Beberapa kali kaki saya tergores karang yang posisinya dekat dengan permukaan air.
 
 merapat, setelah diberi "umpan" berupa kamera. hehehe (dok. Malik) 

Dari kejauhan tampak Pulau Sebesi. Sebuah bukit menjulang di tengah pulau yang dihuni ratusan kepala keluarga ini. Ini bukan pulau terpencil,pikir saya. Karena motor bahkan mobil ada di pulau ini. Namun, karena tidak sering dikunjungi seperti pulau wisata lain di Indonesia, fasilitas yang ada pun masih kurang. Homestay yang seadanya serta listrik yang hanya menyala 12 jam setiap harinyanya adalah contohnya. 

Tapi saya senang berada di pulau ini. Suasananya tenang, jauh berbeda dengan kota besar seperti Bandung atau Jakarta. Rumah warga yang menjadi tempat menginap saya dan teman-teman wanita, termasuk bersih walaupun jauh dari bibir pantai. 

Spot snorkeling yang lain sepertinya sudah memanggil kami untuk segera bergegas naik ke atas kapal. Saya memutuskan tidak turun lagi karena kaki masih perih dan sudah mandi. hehe. Baru saat berada di P.Umang-umang saya terkena air lagi. Pulau ini tak kalah bagusnya,tak kalah pula sampah yang berserakan. Tapi, tidak mempengaruhi teman-teman yang lain berlomba menangkap momen hingga matahari terbenam dan air laut akhirnya pasang.
Bakar ikan sambil ngantuk (dok. Ratna) 

Keesokan harinya kami melalui ombak yang cukup besar untuk menuju tempat utama perjalanan ini, yaitu Gunung Anak Krakatau. Perjalanan yang seharusnya berawal pukul 03.30 baru dimulai 1 jam kemudian karena sempat ada kendala pada mesin kapal. Kami sedikit gagal menangkap momen sunrise dari atas gunung, tapi hal itu tidak mengurangi rasa antusias teman-teman yang sibuk mengambil gambar matahari yang perlahan menyembul dari balik Pulau Rakata, sejak dari atas kapal. 

Perjalanan ke atas gunung jadi cerita lain. Tantangan utamanya adalah kemiringan lerengnya, belum lagi pijakannya berupa pasir hitam. Kita bisa terpeleset kalau tidak berhati-hati melangkah. 

Di posisi ini baru sadar kalau selama ini kurang olah raga (dok. Wildansyah)
 
Anak Krakatau menjulang tenang (Dok.Elingselasri)
Faisal sempat ingin naik ke atas gunung, karena tidak tahu kalau ini adalah gunung berapi yang masih aktif. Karena dilarang, akhirnya dia ngambek. hehe. bercanda (Dok. Elingselasri)
Teman-teman dengan sukses jaya naik keatas lebih dulu daripada saya, baru saat pulangnya saya lebih dulu turun daripada mereka. hehe (dok. Adhitya)
Spot snorkeling di dekat Krakatau (dok. Ratna) 

Matahari masih dalam perjalan turun saat kami kembali menyeberang ke Kalianda. Supir angkot yang cara menyetirnya mirip dengan supir angkot di Bandung pun kembali mengantarkan kami ke Bakauheni. Syukurlah kali ini kami mendapati Ruang eksekutif di kapal kami, dengan TV layar datar yang memutar film Warkop DKI. :D 

Pelabuhan Merak menjadi titik perpisahan dengan teman-teman dari Jakarta. Saya dan teman-teman dari Bandung bergegas masuk ke dalam Bis untuk mencari tempat duduk dan kemudian memanfaatkan waktu untuk tidur hingga udara Bandung yang berkisar 14-16 derajat celcius menyambut kami. 

Dalam perjalanan ini saya menemukan teman yang ternyata kantornya satu grup dengan kantor saya, juga dengan teman-teman dari teman kuliah saya. You never really alone, right? :) 

Sampai berjumpa di kesempatan yang lain, Travelmates. Nice to meet you all! 

dok. Malik