Saat masih kuliah tingkat pertama dan diperkenalkan pada teori-teori psikologi kepribadian, saya bingung tentang manakah kelak teori yang saya pakai sebagai dasar pemikiran saya. Saya mempelajari semuanya dan berusaha memahami semuanya. Menurut saya tidak ada satu teori pun yang saya rasakan kurang benar. Para pencetusnya memandang manusia dari sudut mereka sendiri. Membandingkannya dengan teori yang sudah mapan.
Freud mengatakan ada ID, ego dan superego. Ada alam sadar, pra sadar dan tidak sadar. Ada tahap psiko seksual seperti oral, anal, phalic, laten dan genital.
Teori aliran behavioristik memang benar-benar telah memperlihatkan jika lingkungan dan tingkah laku manusia dipengaruhi oleh bagaimana dia merespon yang baik dan benar. Ada proses belajar disana. Apakah dia mampu mempelajari yang seharusnya dilakukan atau dia malah mempelajari hal-hal yang tidak boleh dilakukan.
Aliran Humanis mengajak kita untuk melihat manusia sebagai individu dan melihat manusia apa adanya. Tanpa topeng-topeng atau pulasan yang seringnya membuat kita tidak melihat yang sebenarnya ada. Namun, masyarakat saat ini akan cenderung melihat seorang individu sesuai fungsinya dimasyarakat, apakah dia direktur, kepala sekolah, pejabat dan lain sebagainya. Ada beberapa proses yang harus kita lakukan untuk “menelanjangi” seseorang dari atribut kemasyarakatnnya.
Psikoanalisis yang dibawa oleh Freud juga melihat manusia dari diri manusia itu sendiri. Tapi, dia memperihatkan bahwa ada sesuatu yang lain yang sangat berpengaruh pada tingkah laku manusia selain keadaan sadarnya, yaitu hal-hal yang tidak disadari. Hal- hal yang tidak disadari itu sebenarnya pernah menjadi hal dalam kesadaran yang mungkin karena suatu peristiwa tertentu tersimpan ke alam bawah sadar dan baru akan muncul jika ada suatu stimulus tertentu yang berkenaan dengan hal tersebut.
Ketika id berbenturan dengan superego dan ego pun tidak dapat menjadi penengah diantaranya, maka hal tersebut akan ditekan menuju alam bawah sadarnya. Sehingga, sebenarnya hal tersebut tidak benar-benar hilang.
Ada seseorang yang terlihat tenang diluar dan mengendalikan semuanya dengan baik dari luar, ternyata memiliki alam bawah sadar yang penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dia tekan karena tidak sesuai dengan lingkungan sosialnya, atau mengalami penolakan dari alam sadar.
Sering disebut sebagai fenomena gunung es. Yang tampak dipermukaan hanyalah puncak yang kecil. Tapi, kalau kita menyelam, maka akan kita temukan permukaan yang lebih luas dan besar.
Salah satu kolega Freud, C.G Jung-yang mengembangkan teorinya berdasarkan teori Freud, memberikan konsep tentang persona. Persona adalah “Topeng” yang kita pakai saat kita berada di ruang publik kita. Dulu saya sangat yakin kalau saya itu tidak bertopeng. Saya benar-benar menjadi apa adanya diri saya dan tidak pernah menunjukkan hal selain diri saya. Tapi, keyakinan itu runtuh seiring berjalannya waktu serta pengetahuan yang semakin bertambah. Saya sering “berdiskusi” dengan diri saya dan juga teman saya, sehingga akhirnya mencapai kesimpulan kalau saya ini memang “bertopeng”. Tak peduli dimanapun itu. Memang saya juga memperlihatkan diri saya yang sebenarnya kepada keluarga dan teman dekat. Tapi, saya yang “sebenarnya” hanya akan diterima dengan baik oleh saya sendiri. Tidak oleh teman, masyarakat atau bahkan keluarga dan orang tua sendiri.
Penyebabnya bisa jadi adalah norma, hukum dan adat kebiasaan. Apa yang baik dan tidak. Apa yang boleh dan tidak dan apa yang selayaknya dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Manusia diciptakan sebaik-baiknya oleh Tuhan. Diciptakan dengan sisi baik dan buruk yang menjadikan manusia itu unik. Ada yin dan ada yang. Ada wanita dan pria. Semuanya diciptakan berpasangan. Namun, perilaku yang cenderung negatif tidak akan diterima oleh masyarakat. Hal itu tentu saja demi menjaga ketertiban kehidupan. Maka, jika seseorang memperlihatkan sisi dia yang buruk--sisi dia sebenarnya, maka dia akan dianggap berbeda dari lingkungannya. Akan dianggap abnormal. Dia akan ditolak dari sekitarnya. Saat itulah dia bertopeng, melakukan apa yang harus dia lakukan dan akan diterima oleh lingkungannya. Sisi burukknya itu akan dia tekan menuju alam bawah sadarnya. Dia berkata pada diri sendiri bahwa hal itu tidak baik, itu buruk dan tidak diperbolehkan oleh masyarakat.
Semua aliran psikologi akan kurang lengkap rasanya tanpa membahas alam tak sadar itu. Kita mungkin berusaha menerima apa adanya diri seseorang dari sisi humanis. Tanpa topeng. Tapi, saya yakin jauh didalam alam bawah sadarnya ada hal-hal yang membuat dia bertingkah laku seperti saat ini. Dan juga tidak hanya dari proses trial dan error saja seperti yang dikatakan kaum behavioris.
Mungkin contoh diatas tidak bisa mewakilkan semua pembahasan kasus-kasus psikologi. Dan argumen ini pun tidak bersifat mutlak. Pembaca boleh setuju boleh tidak dengan argumentasi saya diatas. Karena inti dari semua ini adalah pembelajaran untuk “melihat” ke sisi lain dari hal yang ada di hadapan anda :D
14 Juli 2008
LOST IN BANDUNG
Keterlaluan…..!!!beberapa waktu yang lalu saya berencana menyibukkan diri dari mulai pagi hingga sore.
Pagi, saya ke jatinangor, siang kuliah dan sore-malem pelatihan SDM….
Sepulang pelatihan sekitar pukul setengah 10 malam, saya mengantarkan teman saya yang sudah kehabisan angkot menuju kiara condong. Sebenernya jarak gak jadi masalah karena saya pake motor, walau saya blom tau pasti daerah itu. Semua berjalan sempurna sampai ketika saya hendak pulang, hari itu harus diselingi oleh peristiwa tersesatnya saya di KOTA BANDUNG.
Bagi saya sungguh Memalukan!!!karena..
1. Kota bandung adalah kota yang sering saya akui sebagai kota kelahiran dan kota kesayangan (walau sejak 10 tahun lalu saya menetap di cimahi )
2. It’s not the first time.
- Waktu SMA kelas 2 saya tersesat di jalan Ambon, kehujanan dan hampir tertabrak!!
- Kelas 3 SMA, saking polosnya, saya mau saja diajak berkeliling bandung untuk menuju ke BIP. Saya bersekolah di SMA 4 bandung di jalan gardu jati, yang cukup naek angkot satu kali untuk menuju BIP, namun saya “terpaksa” melewati gedung sate dan naek angkot 3 kali memutar ke jalan suci dan pahlawan!! Teganya teman saya!!!
- Dari arah gedung sate, saya pernah harus memutar ke jalan dipati ukur, karena tidak tahu tembusan menuju fly over surapati, padahal, dari depan gedung sate belok kekanan dan kemudian kekiri, saya sudah dapat menuju fly over
- Sepulang dari jatinagor, saya terpaksa naek angkot ke dago pojok karena tidak tahu harus turun dimana. Padahal saya bisa turun di dago, bawah fly over.
3. Kemampuan Mapping saya,bisa terbilang sangat baik dibandingkan banyak teman saya. Beberapa jalan tikus yang nota bene agak membingungkan arahnya dapat saya lalui tanpa masalah.
4. Jalan protokol gituh!! Dimana pagi harinya saya sempat saya lewati saat hendak menuju jatinangor.
Uh, sungguh hari yang melelahkan. Dan beberapa hari kemudian ketika saya kembali melalui jalan itu di siang hari, ternyata saya pikir2 ketika peristiwa itu terjadi, saya hanya berputar-putar di sekitar jalan Jend. Ahmad Yani. Padahal, tinggal belok kekiri, saya sudah bisa menembus ke simpang lima Lippo….
hmmmmmmmm........
Pagi, saya ke jatinangor, siang kuliah dan sore-malem pelatihan SDM….
Sepulang pelatihan sekitar pukul setengah 10 malam, saya mengantarkan teman saya yang sudah kehabisan angkot menuju kiara condong. Sebenernya jarak gak jadi masalah karena saya pake motor, walau saya blom tau pasti daerah itu. Semua berjalan sempurna sampai ketika saya hendak pulang, hari itu harus diselingi oleh peristiwa tersesatnya saya di KOTA BANDUNG.
Bagi saya sungguh Memalukan!!!karena..
1. Kota bandung adalah kota yang sering saya akui sebagai kota kelahiran dan kota kesayangan (walau sejak 10 tahun lalu saya menetap di cimahi )
2. It’s not the first time.
- Waktu SMA kelas 2 saya tersesat di jalan Ambon, kehujanan dan hampir tertabrak!!
- Kelas 3 SMA, saking polosnya, saya mau saja diajak berkeliling bandung untuk menuju ke BIP. Saya bersekolah di SMA 4 bandung di jalan gardu jati, yang cukup naek angkot satu kali untuk menuju BIP, namun saya “terpaksa” melewati gedung sate dan naek angkot 3 kali memutar ke jalan suci dan pahlawan!! Teganya teman saya!!!
- Dari arah gedung sate, saya pernah harus memutar ke jalan dipati ukur, karena tidak tahu tembusan menuju fly over surapati, padahal, dari depan gedung sate belok kekanan dan kemudian kekiri, saya sudah dapat menuju fly over
- Sepulang dari jatinagor, saya terpaksa naek angkot ke dago pojok karena tidak tahu harus turun dimana. Padahal saya bisa turun di dago, bawah fly over.
3. Kemampuan Mapping saya,bisa terbilang sangat baik dibandingkan banyak teman saya. Beberapa jalan tikus yang nota bene agak membingungkan arahnya dapat saya lalui tanpa masalah.
4. Jalan protokol gituh!! Dimana pagi harinya saya sempat saya lewati saat hendak menuju jatinangor.
Uh, sungguh hari yang melelahkan. Dan beberapa hari kemudian ketika saya kembali melalui jalan itu di siang hari, ternyata saya pikir2 ketika peristiwa itu terjadi, saya hanya berputar-putar di sekitar jalan Jend. Ahmad Yani. Padahal, tinggal belok kekiri, saya sudah bisa menembus ke simpang lima Lippo….
hmmmmmmmm........
11 Juli 2008
KETIKA MANUSIA INDONESIA MENCARI MAKNA HIDUP :
Suatu saat ketika saya sampai pada pertengahan membaca buku karya Viktor Frankl yang berjudul “MAN’S SEARCH FOR MEANING”, saya menemukan hal-hal yang menjadi sebab dia memberikan fase-fase psikologis. Karena latar belakang tersebut berbeda dengan yang saya alami dan pahami, saya selalu berusaha untuk mencari celah kelemahan teorinya tersebut. Teori ini benar-benar berfokus pada diri manusia. Bagaimana seorang manusia menemukan makna hidupnya. Bagi saya yang hidup dia alam kemerdekaan dan tidak pernah tersentuh NAZI, teori Frankl tidak bisa dijadikan patokan.
Namun ketika saya menonton sebuah berita, saya menemukan bahwa saya dan mungkin orang-orang di Indonesia tanpa sadar telah mengalaminya. Peristiwa pribadi namun termanifestasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara.
Bangsa Indonesia bisa dibilang sebagai bangsa paling kuat. Dalam satu tahun saja, bencana, tragedi dan peristiwa kemanusiaan terjadi dan mengguncang negeri. Dan bangsa ini tetap berdiri. Namun, sehatkan bangsa ini sebenarnya? Maksud sehat disini bukan gila atau abnormal, tapi apakah kita mampu melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik “keramahan” bangsa ini yang tetap ada dalam setiap harinya?. Beragam kebudayaan yang ada menyebabkan beragam cara menanggapi masyarakat di Indonesia terhadap segala sesuatu yang terjadi. Dan topik yang akan saya sorot dalam analisis ini adalah tentang lumpur lapindo.
Dalam buku psikologi fenomenologi, eksistensial dan humanistik, disebutkan bahwa Keinginan paling fundamental pada manusia adalah keinginan memperoleh makna bagi keberadaanya. Frankl menyebutnya sebagai ‘keinginan kepada makna’. Jika keinginan kepada makna itu tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami ‘frustasi eksistensial’ yang bisa mengarahkan individu tersebut kepada suatu bentuk neurosis yang ditandai oleh pelarian dari kebebasan dan tanggung jawab.
FASE PSIKOLOGIS
Frankl menjelaskan dengan gamblang tentang reaksi psikologi fase pertama di “MAN’S SEARCH FOR MEANING”, yaitu : pembuangan seluruh kehidupan masa lalu. Ini terjadi pada masyarakat korban bencana alam atau yang lebih pastinya korban lumpur panas sidoarjo (lumpur lapindo). Semua hal yang menjadi kenangan masa kecil hilang akibat lumpur. Masa-masa indah dan hangat di rumah pun hilang. Bahkan rumah yang mungkin dulu dibangun dengan menggunakan tabungan selama bertahun-tahun tidak berbekas lagi. Menghilangkan masa lalu disini dilakukan sebagai suatu hal yang oleh Freud disebut mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). Ketika seseorang mengalami suatu kejadian yang memutar arah kehidupannya secara tiba-tiba dan langsung, dia akan mengalami syok dan stress. Jika dia terus mengingat apa yang sekarang tidak dimilikinya lagi hal ini akan menyebabkan depresi yang bisa mengarah pada hal-hal yang lebih negatif. Maka untuk itu para korban lumpur itu mulai perlahan-lahan membuang semua kehidupan masa lalu mereka untuk bertahan hidup. Dan ini berlaku pada kebanyakan orang dengan kasus yang berbeda. Mereka menghilangkan pemaknaan atas waktu hidup mereka di masa lalu dan menggantinya denga pemaknaan waktu saat berncana itu terjadi dan menghentikan masa depan mereka. Mereka menghapuskan “akar” hidup mereka, yang disimbolkan oleh tanah tempat mereka berpijak, rumah kediaman yang dulu mereka tinggali, juga mendiami ruang atau habitat. Semuanya sudah tidak dihayati lagi.
Fase kedua adalah fase apatis. Kematian emosi. Kalau melihat pada contoh di fase pertama, hal ini tidak hanya terjadi pada si korban saja tetapi juga masyarakat yang tidak terkena dampak secara langsung. Para korban yang berusaha berjuang mendapat hak mereka, namun tidak memperoleh hasil yang pasti, akan menyerah. Mereka menghilangkan makna hidup mereka. Menyerah disini diartikan sebagai menyerah secara emosi lalu berujung kepada kematian emosi. Mereka mungkin berpikir, daripada membuang uang untuk hasil yang tidak pasti, lebih baik mereka berusaha dan tidak peduli. Semua hanya untuk hasil yang lebih pasti. Analoginya. Dari pada mereka berdemo, mengeluarkan uang banyak, resiko yang beragam serta hasil yang tidak pasti- ditanggapi atau tidak, lebih baik mencari pekerjaan, mendapatkan gaji. Semua ini terlihat lebih pasti daripada pilihan pertama (walau menyadari bahwa mencari pekerjaan di saat sekarang adalah hal yang sulit). Hal ini disebabkan kejadian yang berulang-terakumulasi dari kasus yang lain- dan terus-menerus dalam waktu yang lama. Frankl mendapat fase ini saat dia mulai merasa “biasa-biasa” saja ketika melihat korban-korban berjatuhan akibat penyiksaan di kamp konsentrasi NAZI. Hal inilah yang terjadi pada semua tahanan. Dimana ketika memasuki minggu ke dua, mereka mulai memasuki fase ini. Dan lagi-lagi, hal ini juga sebagai mekanisme mempertahankan diri.
Perlu diingat, fase kedua ini mungkin juga dialami oleh masyarakat “penonton”. Yang saya katakan sebagai masyarakat yang tidak mengalami dampak secara langsung. Mereka beranggapan, bahwa percuma saja berusaha. Karena pemerintah pasti tetap tidak akan peduli-seperti banyak kasus lain yang di peti es-kan begitu saja.
LOGOTERAPI
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, dan spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan.
(Jalaluddin Rahmat, 2004)
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai "noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasan diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini. Akan terjadi krisis pencarian makna, ketika kita tidak mampu kembali pada dimensi spiritual kita, saat tragedi itu muncul.
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah pertama, kematian: kita semua adalah makhluk yang fana, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. Dan contoh konkritnya adalah bahwa tidak ada pandangan masa depan kehidupan yang dilihat oleh para korban. Kedua, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa diramalkan atau dikendalikan. Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa akan terjadi bencana lumpur ini. Dan semua ini terbukti tidak bisa dikendalikan oleh kita sebagai manusia. Ketiga, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya. Saat memutuskan apakah harus berdemo menuntut ganti rugi pemerintah, atau pindah dan mencari penghidupan ditemapat lain, akan menjadi sebuah kecemasan eksistensial. Semua ada untung ruginya. (Zainal Abidin, 2002).
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Kenapa kita tetap harus hidup dengan keadaan tanpa harta benda seperti ini? Kenapa kita harus tetap berusaha mencari ganti rugi? Apa yang kita cari setelah semuanya musnah dalam lumpur itu? Adalah pertanyaan yang dimaksudkan untuk mencoba mencari makna. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus "menjalaninya". Tentang makna, menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan; Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makna hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang "transendental", sesuatu yang berada di luar "pemiliknya" (Frankl, 1963).
Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu "kefanaan" menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. "Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian". Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu: pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery), kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih, ketiga, makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain, keempat, makna membersit dalam tanggung jawab, kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gaungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir (the ultimate meaning) yang menyadarkan kita akan "aturan Agung" yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl.
Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure) dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa (the will to power) nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup bukanlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami.
Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacam frustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat latent dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (workaholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
FRUSTASI EKSISTENSIAL
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidak mampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu faktor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan neurosis noogenik, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan.
(sebagian dari tulisan ini adalah saduran dari situs-situs mengenai Viktor Frankl....tapi aku lupa apa...heheheh....maap, jadi jangan heran kalo ada sebagian dari anda yang merasa pernah membacanya).....
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung : Refika Aditama.
Frankl, Viktor .E. 1963.Man's Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy. New York : Washington Square Press.
DIMENSI SPIRITUAL DALAM PSIKOTERAPI - (Kajian Logoterapi Victor E_ Frankl) [Archive] - Ikastara.htm.
http://google.com/contoh krisis eksistensial di Indonesia.html
Namun ketika saya menonton sebuah berita, saya menemukan bahwa saya dan mungkin orang-orang di Indonesia tanpa sadar telah mengalaminya. Peristiwa pribadi namun termanifestasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara.
Bangsa Indonesia bisa dibilang sebagai bangsa paling kuat. Dalam satu tahun saja, bencana, tragedi dan peristiwa kemanusiaan terjadi dan mengguncang negeri. Dan bangsa ini tetap berdiri. Namun, sehatkan bangsa ini sebenarnya? Maksud sehat disini bukan gila atau abnormal, tapi apakah kita mampu melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik “keramahan” bangsa ini yang tetap ada dalam setiap harinya?. Beragam kebudayaan yang ada menyebabkan beragam cara menanggapi masyarakat di Indonesia terhadap segala sesuatu yang terjadi. Dan topik yang akan saya sorot dalam analisis ini adalah tentang lumpur lapindo.
Dalam buku psikologi fenomenologi, eksistensial dan humanistik, disebutkan bahwa Keinginan paling fundamental pada manusia adalah keinginan memperoleh makna bagi keberadaanya. Frankl menyebutnya sebagai ‘keinginan kepada makna’. Jika keinginan kepada makna itu tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami ‘frustasi eksistensial’ yang bisa mengarahkan individu tersebut kepada suatu bentuk neurosis yang ditandai oleh pelarian dari kebebasan dan tanggung jawab.
FASE PSIKOLOGIS
Frankl menjelaskan dengan gamblang tentang reaksi psikologi fase pertama di “MAN’S SEARCH FOR MEANING”, yaitu : pembuangan seluruh kehidupan masa lalu. Ini terjadi pada masyarakat korban bencana alam atau yang lebih pastinya korban lumpur panas sidoarjo (lumpur lapindo). Semua hal yang menjadi kenangan masa kecil hilang akibat lumpur. Masa-masa indah dan hangat di rumah pun hilang. Bahkan rumah yang mungkin dulu dibangun dengan menggunakan tabungan selama bertahun-tahun tidak berbekas lagi. Menghilangkan masa lalu disini dilakukan sebagai suatu hal yang oleh Freud disebut mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). Ketika seseorang mengalami suatu kejadian yang memutar arah kehidupannya secara tiba-tiba dan langsung, dia akan mengalami syok dan stress. Jika dia terus mengingat apa yang sekarang tidak dimilikinya lagi hal ini akan menyebabkan depresi yang bisa mengarah pada hal-hal yang lebih negatif. Maka untuk itu para korban lumpur itu mulai perlahan-lahan membuang semua kehidupan masa lalu mereka untuk bertahan hidup. Dan ini berlaku pada kebanyakan orang dengan kasus yang berbeda. Mereka menghilangkan pemaknaan atas waktu hidup mereka di masa lalu dan menggantinya denga pemaknaan waktu saat berncana itu terjadi dan menghentikan masa depan mereka. Mereka menghapuskan “akar” hidup mereka, yang disimbolkan oleh tanah tempat mereka berpijak, rumah kediaman yang dulu mereka tinggali, juga mendiami ruang atau habitat. Semuanya sudah tidak dihayati lagi.
Fase kedua adalah fase apatis. Kematian emosi. Kalau melihat pada contoh di fase pertama, hal ini tidak hanya terjadi pada si korban saja tetapi juga masyarakat yang tidak terkena dampak secara langsung. Para korban yang berusaha berjuang mendapat hak mereka, namun tidak memperoleh hasil yang pasti, akan menyerah. Mereka menghilangkan makna hidup mereka. Menyerah disini diartikan sebagai menyerah secara emosi lalu berujung kepada kematian emosi. Mereka mungkin berpikir, daripada membuang uang untuk hasil yang tidak pasti, lebih baik mereka berusaha dan tidak peduli. Semua hanya untuk hasil yang lebih pasti. Analoginya. Dari pada mereka berdemo, mengeluarkan uang banyak, resiko yang beragam serta hasil yang tidak pasti- ditanggapi atau tidak, lebih baik mencari pekerjaan, mendapatkan gaji. Semua ini terlihat lebih pasti daripada pilihan pertama (walau menyadari bahwa mencari pekerjaan di saat sekarang adalah hal yang sulit). Hal ini disebabkan kejadian yang berulang-terakumulasi dari kasus yang lain- dan terus-menerus dalam waktu yang lama. Frankl mendapat fase ini saat dia mulai merasa “biasa-biasa” saja ketika melihat korban-korban berjatuhan akibat penyiksaan di kamp konsentrasi NAZI. Hal inilah yang terjadi pada semua tahanan. Dimana ketika memasuki minggu ke dua, mereka mulai memasuki fase ini. Dan lagi-lagi, hal ini juga sebagai mekanisme mempertahankan diri.
Perlu diingat, fase kedua ini mungkin juga dialami oleh masyarakat “penonton”. Yang saya katakan sebagai masyarakat yang tidak mengalami dampak secara langsung. Mereka beranggapan, bahwa percuma saja berusaha. Karena pemerintah pasti tetap tidak akan peduli-seperti banyak kasus lain yang di peti es-kan begitu saja.
LOGOTERAPI
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, dan spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan.
(Jalaluddin Rahmat, 2004)
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai "noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasan diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini. Akan terjadi krisis pencarian makna, ketika kita tidak mampu kembali pada dimensi spiritual kita, saat tragedi itu muncul.
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah pertama, kematian: kita semua adalah makhluk yang fana, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. Dan contoh konkritnya adalah bahwa tidak ada pandangan masa depan kehidupan yang dilihat oleh para korban. Kedua, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa diramalkan atau dikendalikan. Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa akan terjadi bencana lumpur ini. Dan semua ini terbukti tidak bisa dikendalikan oleh kita sebagai manusia. Ketiga, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya. Saat memutuskan apakah harus berdemo menuntut ganti rugi pemerintah, atau pindah dan mencari penghidupan ditemapat lain, akan menjadi sebuah kecemasan eksistensial. Semua ada untung ruginya. (Zainal Abidin, 2002).
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Kenapa kita tetap harus hidup dengan keadaan tanpa harta benda seperti ini? Kenapa kita harus tetap berusaha mencari ganti rugi? Apa yang kita cari setelah semuanya musnah dalam lumpur itu? Adalah pertanyaan yang dimaksudkan untuk mencoba mencari makna. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus "menjalaninya". Tentang makna, menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan; Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makna hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang "transendental", sesuatu yang berada di luar "pemiliknya" (Frankl, 1963).
Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu "kefanaan" menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. "Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian". Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu: pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery), kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih, ketiga, makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain, keempat, makna membersit dalam tanggung jawab, kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gaungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir (the ultimate meaning) yang menyadarkan kita akan "aturan Agung" yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl.
Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure) dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa (the will to power) nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup bukanlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami.
Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacam frustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat latent dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (workaholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
FRUSTASI EKSISTENSIAL
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidak mampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu faktor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan neurosis noogenik, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan.
(sebagian dari tulisan ini adalah saduran dari situs-situs mengenai Viktor Frankl....tapi aku lupa apa...heheheh....maap, jadi jangan heran kalo ada sebagian dari anda yang merasa pernah membacanya).....
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung : Refika Aditama.
Frankl, Viktor .E. 1963.Man's Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy. New York : Washington Square Press.
DIMENSI SPIRITUAL DALAM PSIKOTERAPI - (Kajian Logoterapi Victor E_ Frankl) [Archive] - Ikastara.htm.
http://google.com/contoh krisis eksistensial di Indonesia.html
ini tentang....
tugas analisis eksistensial.....
Langganan:
Postingan (Atom)